Disable Copying

Saturday, December 21, 2019

Kisah Nabi Adam berdasarkan Al-Qur’an 6

7. Pesan untuk Anak-Anak Adam (Bagian 2)
“Wahai anak-anak Adam, ambillah perhiasanmu (pakaianmu) pada setiap masjid dan makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Dia tidak menyukai mereka yang berbuat berlebihan.

Katakanlah “Siapakah yang melarang perhiasan dari Allah yang Dia telah buat untuk hamba-hamba-Nya dan hal-hal baik dari persediaan?” Katakanlah “Mereka (perhiasan tsb) adalah untuk mereka yang percaya selama hidup di dunia, (dan akan diberikan) secara khusus untuk mereka pada Hari Kebangkitan.” Begitulah Kami menjelaskan (merinci) ayat-ayat untuk orang-orang yang mengetahui.  

Katakanlah “Tuhanku hanya telah melarang kejahatan (ketidakasusilaan) – yang terlihat dari mereka dan yang tersembunyi – dan dosa, dan penindasan tanpa kebenaran (hak), dan bahwa kamu menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan, dan bahwa kamu mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui.”

Dan untuk setiap negeri adalah sebuah waktu. Maka ketika waktu mereka telah datang, mereka tidak akan tinggal setelahnya satu jam, ataupun mereka akan mempercepat(nya).”
(Q.S Al-A’raaf ayat 31-34)

Pada bagian ini, kita akan membahasnya menjadi beberapa poin, yaitu:
a. Allah memperbolehkan kita untuk membawa perhiasan (pakaian) kita ke masjid dan kitapun diperbolehkan untuk makan dan minum di dalamnya, namun jangan sampai berlebihan (dalam hal perhiasan/pakaian, makan dan minum) karena Allah tidak menyukai hal-hal yang berlebihan.

Catatan:
Saya pernah ke beberapa masjid di Indonesia dan di dalamnya mereka melarang pengunjungnya untuk makan, minum ataupun beristirahat (tidur) di dalam masjid. Sebagian beralasan melakukan hal tersebut karena masjid adalah sarana untuk ibadah, maka hanya bisa digunakan sebatas untuk beribadah saja. Ayat ini menjadi bukti bahwa alasan yang diberikan tersebut tidak benar.
     
Contoh larangan yang ada dalam Masjid
b. Allah juga tidak melarang penggunaan perhiasan/pakaian dan persediaan (makanan, minuman, dsb). Karena perhiasan/pakaian dan persediaan di bumi memang diberikan untuk manusia (simak kembali Surah Al-Baqarah ayat 36), sedangkan di Hari Akhir nanti hal tersebut hanya akan diberikan khusus orang-orang yang percaya saja.

Catatan:
Khusus pada Surah Al-A’raaf ayat 32 ini, sebenarnya ayat ini termasuk kategori ayat tidak jelas (dan ini ditegaskan pada bagian akhir ayat yang mengatakan “Begitulah Kami menjelaskan (merinci) ayat-ayat untuk orang-orang yang mengetahui”). Hal ini karena kita tahu, bahwa perhiasan dan persediaan di dunia tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang percaya saja, namun juga bisa dimiliki oleh orang-orang yang tidak percaya. Namun jika kita kembali merujuk pada Surah Al-Baqarah ayat 36, dikatakan “Turunlah, sebagai musuh satu sama lain, dan kamu akan memiliki di dalam bumi sebuah tempat tinggal dan persediaan untuk suatu waktu.” Dari sini, jelaslah bahwa persediaan di dunia memang sudah dijamin dari Allah untuk semua manusia. Mungkin maksud sebenarnya ayat ini adalah pengokohan bahwa perhiasan dan persediaan di dunia memang di perbolehkan untuk digunakan oleh orang-orang yang percaya (walau sedikit) dan di Hari Akhir, persediaan dan perhiasan tersebut hanya akan diberikan pada orang-orang yang percaya saja (orang yang tidak percaya tidak mendapat bagian, artinya di dunia orang-orang yang tidak percaya diperbolehkan untuk memiliki perhiasan dan persediaan). Ayat ini sebenarnya secara khusus menentang ajaran-ajaran yang melarang penggunaan perhiasan dan persediaan di dunia yang memang seharusnya digunakan manusia. Sebagai contoh adalah ajaran biksu Buddha Theravadin.

Biksu dan biarawati pertama menerima ajaran Kehidupan Suci dari Buddha sendiri, lebih dari 2500 tahun yang lalu di India. Sejak itu, pengaruh mereka telah tersebar hampir di seluruh Asia. Negara-negara dari Asia Tenggara dan Srilangka telah dipengaruhi dengan dalam oleh Sekolah Buddha Theravadin, yang ajarannya berasal dari lembaran-lembaran Suci Paali. Diantara peraturan-peraturan mengenai cara dan jalan hidup seorang biksu, kita hanya akan membahas sebagian saja, dimana ini tercatat dalam Peraturan Patimokkha (Ariyesako,1998), yaitu:

  • -          “Dengan sengaja membunuh sebuah hewan – atau telah membuatnya mati – adalah [Pelanggaran Pengakuan]”
    Hewan disini adalah paano, yang berarti “memiliki nafas”. Penulis menjelaskan bahwa ini termasuk makhluk hidup hingga ukuran dari serangga. Di bagian teks lain bahkan melarang pembunuhan dari “seekor semut sekalipun”.
  • -          “Dengan sengaja merusak atau menghancurkan sebuah tanaman hidup adalah [Pelanggaran Pengakuan]”
    Maka menghancurkan sebuah tumbuhan hidup – sebagai contoh, memotong jatuh pohon, mengambil bunga hingga akar, membakar rumput – adalah sebuah Pelanggaran Pengakuan; hal yang sama berlaku jika mengambil buah dari pohon, bunga dari semak, etc. Ini adalah pelanggaran bersalah (dukka.ta) jika merusak atau menghancurkan biji-biji subur atau bibit yang dapat tumbuh.
    Namun bukan berarti biksu tidak boleh memakan buah. Ada metode khusus, yaitu kappiya, yang membolehkan biksu untuk memakannya. Dalam Islam, metode kappiya ini mirip dengan meminta seseorang untuk “menghalalkan” sesuatu. Metode kappiya ini biasanya dilakukan dengan memberikan tanda pada buah pemberian diantaranya adalah dengan menyentuhnya dengan api, membuat gambar dengan pisau diatasnya atau dengan memberi tanda melalui kuku jari. 

Buddha membolehkan biksu untuk makan daging dan ikan, kecuali dalam keadaan berikut:
  • -          Jika seorang biksu melihat, mendengar atau menduga bahwa ia (hewan tsb) telah dibunuh untuknya, dia tidak boleh memakannya.
    Jika seorang biksu diberikan daging dalam putaran sedekah dan dia tidak tahu mengenai bagaimana hewan tersebut mati, ia harus “menerima itu dengan perhatian”. Disini dia harus bersyukur dan mengingat bahwa makanan yang diberikan kepadanya adalah hal yang bisa membuatnya meneruskan kehidupan biksu dan bahwa ia tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. 

Sementara mengenai harta dan uang, sebagian peraturannya adalah sebagai berikut:
  • -          “Biksu, dalam meninggalkan penggunaan uang, meninggalkan keinginan duniawi mereka dengan nyata dan menunjukkan pada yang lainnya dengan mencontohkan bahwa perjuangan/perebutan untuk harta itu bukanlah jalan yang benar untuk menemukan kebahagiaan.”
  • -          “Seorang biksu, yang menerima emas atau uang atau meminta orang lain untuk menerimanya untuk dia, atau menerimanya yang ditempatkan di dekatnya, melakukan [sebuah pelanggaran yang membutuhkan pengakuan dan pengembalian.]”
  • -          “Mendapatkan emas atau uang melalui jual-beli adalah [sebuah pelanggaran yang membutuhkan pengakuan dan pengembalian.]”

Dari peraturan diatas, jelas bahwa kehidupan para biksu untuk melarang membunuh hewan (bahkan hewan ternak untuk dimakan sekalipun), menghancurkan tanaman (bahkan mengambil buah dari pohonnya) dan menyimpan uang, emas atau perhiasan (bahkan hingga berdagang) adalah sebuah pelanggaran. Walaupun semua peraturan diatas terlihat begitu baik, namun Al-Qur’an disini tetap mengokohkan bahwa orang-orang beriman diperbolehkan untuk menyimpan perhiasan (baju, uang, berlian, dsb) dan menggunakan persediaan yang ada di bumi (makan buah, hewan ternak, dsb). Karena perhiasan dan persediaan yang ada di bumi, memang disediakan untuk manusia.  

c. Ini adalah hal-hal yang Allah larang, yaitu; kejahatan (ketidakasusilaan) yang terlihat dan yang tersembunyi, dosa, penindasan tanpa kebenaran (hak), menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui.

Catatan:
Disini saya tidak akan membahas mengenai larangan lainnya kecuali dua larangan terakhir yaitu; menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui. Karena dua larangan ini saling berhubungan dan paling banyak mempengaruhi generasi sesudah kita.

Hal ini masih berhubungan dengan ayat-ayat pada bagian ini dan bagian sebelumnya. Pada bagian 1, contoh yang diberikan adalah saat manusia berbuat kejahatan, namun mereka mengatakan bahwa perbuatan mereka itu adalah yang telah dilakukan oleh leluhur mereka dan bahwa itulah perintah Allah. Sebagai contoh nyata yang ada di dunia mengenai hal ini adalah penghalalan nikah Mut’ah yang kebanyakan dianut pengikut aliran Syiah.

Nikah mut’ah adalah pernikahan kontrak dalam jangka waktu tertentu; bisa satu jam, seminggu, sebulan, setahun, dsb. Pengikut aliran ini menjadikan Surah An-Nisa ayat 24 sebagai dasar yang mereka artikan “.... Maka istri-istri yang telah kamu campuri diantara mereka, berikanlah kepada mereka biaya kontrak, sebagai suatu kewajiban. ....” Kata Ujrah yang umumnya diartikan sebagai mahar oleh pengikut aliran Syiah ini diartikan sebagai biaya kontrak. Pada dasarnya, praktik nikah mut’ah ini tidak bisa dibenarkan karena hal ini bisa dijadikan upaya untuk melegalisir praktik prostisusi (upaya pemuasan nafsu belaka) di masyarakat. Contoh ini masuk ke dalam dua larangan terakhir; menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui. Hal ini karena mereka menafsirkan Al-Qur’an untuk mencari pembenaran (pentakwilan) terhadap keinginan mereka, padahal mereka belum tentu mengetahui maksud dari ayat tersebut. Inilah hal yang berbahaya mengenai ulama su’.   

Namun dalam kesempatan lain, kejahatan tidak harus dilakukan atas perintah Allah namun hanya perbuatan bapak-bapak (leluhur) mereka. Contoh nyata dari hal ini adalah pelegalan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) di banyak negara atas nama hak asasi manusia. Padahal jika mengacu pada hukum agama, hal ini termasuk kejahatan yang besar karena fitrah laki-laki sebenarnya adalah para perempuan. Kejahatan inipun kisahnya diabadikan dalam kisah Kaum Luth dalam Al-Qur’an. Contoh ini mungkin tidak ada hubungannya dengan Allah tapi manusia telah melakukan hal yang tidak Dia turunkan dengan kekuasaan (Allah tidak menghalalkan LGBT, bahkan mengecam tindakan tersebut). Namun jikalau ada yang menghalalkan LGBT dengan mengatasnamakan Allah, maka dia sudah termasuk dalam melanggar kedua larangan diatas.

Pada bagian 2 adalah contoh mengenai hal-hal yang sebenarnya diperbolehkan untuk dilakukan atau dimiliki oleh orang-orang beriman, namun malah ada yang melarang (perhiasan dan persediaan di bumi). Contoh bagian a diatas adalah mengenai larangan makan dan minum di masjid, sedangkan pada bagian b adalah mengenai larangan penggunaan perhiasan bagi orang yang beriman, padahal Allah membolehkan keduanya. Kedua contoh ini sebenarnya masuk ke dalam dua larangan terakhir; menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui.

Contoh b adalah mengenai larangan kepemilikan perhiasan (harta, pakaian bagus, dsb). Jika yang melarang mengatasnamakan Allah, maka ia akan termasuk ke dalam dua larangan terakhir; menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui. Sedangkan jika mencontoh perilaku biksu Theravadin, walaupun ia tidak ada hubungannya dengan Allah tapi manusia telah melakukan hal yang tidak Dia turunkan dengan kekuasaan (Allah tidak melarang penggunaan perhiasan, harta, pakaian bagus, dsb).

Namun contoh ayat ini tidak terbatas pada kedua contoh diatas. Terdapat banyak penafsiran lain; dan contoh yang paling baik adalah mengatakan bahwa Isa adalah Tuhan, Isa adalah anak Tuhan, atau adanya tuhan-tuhan lain selain Allah. Semua hal ini termasuk dalam “menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui”. Terakhir, maksud dari “tidak diturunkan dengan kekuasaan”, artinya adalah hal tersebut tidak dikatakan oleh pemberi peringatan yang Allah turunkan. Maka dari itu, hal-hal yang tidak diturunkan dengan kekuasaan berarti adalah kebohongan yang telah dibuat-buat oleh manusia.

d. Setiap negeri memiliki waktunya masing-masing. Ketika waktu kehancuran mereka datang, maka hal itu tidak dapat ditunda maupun dipercepat sedikitpun oleh manusia.

0 comments: