7. Pesan untuk Anak-Anak Adam (Bagian 2)
“Wahai
anak-anak Adam, ambillah perhiasanmu (pakaianmu) pada setiap masjid dan
makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Dia tidak menyukai
mereka yang berbuat berlebihan.
Katakanlah
“Siapakah yang melarang perhiasan dari Allah yang Dia telah buat untuk
hamba-hamba-Nya dan hal-hal baik dari persediaan?” Katakanlah “Mereka (perhiasan
tsb) adalah untuk mereka yang percaya selama hidup di dunia, (dan akan
diberikan) secara khusus untuk mereka pada Hari Kebangkitan.” Begitulah Kami
menjelaskan (merinci) ayat-ayat untuk orang-orang yang mengetahui.
Katakanlah
“Tuhanku hanya telah melarang kejahatan (ketidakasusilaan) – yang terlihat dari
mereka dan yang tersembunyi – dan dosa, dan penindasan tanpa kebenaran (hak),
dan bahwa kamu menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak
turunkan dengan kekuasaan, dan bahwa kamu mengatakan tentang Allah hal-hal yang
tidak kamu ketahui.”
Dan
untuk setiap negeri adalah sebuah waktu. Maka ketika waktu mereka telah datang,
mereka tidak akan tinggal setelahnya satu jam, ataupun mereka akan
mempercepat(nya).”
(Q.S Al-A’raaf ayat 31-34)
(Q.S Al-A’raaf ayat 31-34)
Pada bagian ini, kita
akan membahasnya menjadi beberapa poin, yaitu:
a. Allah memperbolehkan
kita untuk membawa perhiasan (pakaian) kita ke masjid dan kitapun diperbolehkan
untuk makan dan minum di dalamnya, namun jangan sampai berlebihan (dalam hal perhiasan/pakaian,
makan dan minum) karena Allah tidak menyukai hal-hal yang berlebihan.
Catatan:
Saya pernah ke beberapa masjid di Indonesia dan di dalamnya mereka melarang pengunjungnya untuk makan, minum ataupun beristirahat (tidur) di dalam masjid. Sebagian beralasan melakukan hal tersebut karena masjid adalah sarana untuk ibadah, maka hanya bisa digunakan sebatas untuk beribadah saja. Ayat ini menjadi bukti bahwa alasan yang diberikan tersebut tidak benar.
Saya pernah ke beberapa masjid di Indonesia dan di dalamnya mereka melarang pengunjungnya untuk makan, minum ataupun beristirahat (tidur) di dalam masjid. Sebagian beralasan melakukan hal tersebut karena masjid adalah sarana untuk ibadah, maka hanya bisa digunakan sebatas untuk beribadah saja. Ayat ini menjadi bukti bahwa alasan yang diberikan tersebut tidak benar.
Contoh larangan yang ada dalam Masjid |
b. Allah juga tidak
melarang penggunaan perhiasan/pakaian dan persediaan (makanan, minuman, dsb).
Karena perhiasan/pakaian dan persediaan di bumi memang diberikan untuk manusia
(simak kembali Surah Al-Baqarah ayat 36), sedangkan di Hari Akhir nanti hal tersebut
hanya akan diberikan khusus orang-orang yang percaya saja.
Catatan:
Khusus pada Surah Al-A’raaf ayat 32 ini, sebenarnya ayat ini termasuk kategori ayat tidak jelas (dan ini ditegaskan pada bagian akhir ayat yang mengatakan “Begitulah Kami menjelaskan (merinci) ayat-ayat untuk orang-orang yang mengetahui”). Hal ini karena kita tahu, bahwa perhiasan dan persediaan di dunia tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang percaya saja, namun juga bisa dimiliki oleh orang-orang yang tidak percaya. Namun jika kita kembali merujuk pada Surah Al-Baqarah ayat 36, dikatakan “Turunlah, sebagai musuh satu sama lain, dan kamu akan memiliki di dalam bumi sebuah tempat tinggal dan persediaan untuk suatu waktu.” Dari sini, jelaslah bahwa persediaan di dunia memang sudah dijamin dari Allah untuk semua manusia. Mungkin maksud sebenarnya ayat ini adalah pengokohan bahwa perhiasan dan persediaan di dunia memang di perbolehkan untuk digunakan oleh orang-orang yang percaya (walau sedikit) dan di Hari Akhir, persediaan dan perhiasan tersebut hanya akan diberikan pada orang-orang yang percaya saja (orang yang tidak percaya tidak mendapat bagian, artinya di dunia orang-orang yang tidak percaya diperbolehkan untuk memiliki perhiasan dan persediaan). Ayat ini sebenarnya secara khusus menentang ajaran-ajaran yang melarang penggunaan perhiasan dan persediaan di dunia yang memang seharusnya digunakan manusia. Sebagai contoh adalah ajaran biksu Buddha Theravadin.
Khusus pada Surah Al-A’raaf ayat 32 ini, sebenarnya ayat ini termasuk kategori ayat tidak jelas (dan ini ditegaskan pada bagian akhir ayat yang mengatakan “Begitulah Kami menjelaskan (merinci) ayat-ayat untuk orang-orang yang mengetahui”). Hal ini karena kita tahu, bahwa perhiasan dan persediaan di dunia tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang percaya saja, namun juga bisa dimiliki oleh orang-orang yang tidak percaya. Namun jika kita kembali merujuk pada Surah Al-Baqarah ayat 36, dikatakan “Turunlah, sebagai musuh satu sama lain, dan kamu akan memiliki di dalam bumi sebuah tempat tinggal dan persediaan untuk suatu waktu.” Dari sini, jelaslah bahwa persediaan di dunia memang sudah dijamin dari Allah untuk semua manusia. Mungkin maksud sebenarnya ayat ini adalah pengokohan bahwa perhiasan dan persediaan di dunia memang di perbolehkan untuk digunakan oleh orang-orang yang percaya (walau sedikit) dan di Hari Akhir, persediaan dan perhiasan tersebut hanya akan diberikan pada orang-orang yang percaya saja (orang yang tidak percaya tidak mendapat bagian, artinya di dunia orang-orang yang tidak percaya diperbolehkan untuk memiliki perhiasan dan persediaan). Ayat ini sebenarnya secara khusus menentang ajaran-ajaran yang melarang penggunaan perhiasan dan persediaan di dunia yang memang seharusnya digunakan manusia. Sebagai contoh adalah ajaran biksu Buddha Theravadin.
Biksu dan biarawati
pertama menerima ajaran Kehidupan Suci dari Buddha sendiri, lebih dari 2500
tahun yang lalu di India. Sejak itu, pengaruh mereka telah tersebar hampir di
seluruh Asia. Negara-negara dari Asia Tenggara dan Srilangka telah dipengaruhi
dengan dalam oleh Sekolah Buddha Theravadin, yang ajarannya berasal dari
lembaran-lembaran Suci Paali. Diantara peraturan-peraturan mengenai cara dan
jalan hidup seorang biksu, kita hanya akan membahas sebagian saja, dimana ini
tercatat dalam Peraturan Patimokkha (Ariyesako,1998), yaitu:
- -
“Dengan sengaja membunuh sebuah hewan –
atau telah membuatnya mati – adalah [Pelanggaran Pengakuan]”
Hewan disini adalah paano, yang berarti “memiliki nafas”. Penulis menjelaskan bahwa ini termasuk makhluk hidup hingga ukuran dari serangga. Di bagian teks lain bahkan melarang pembunuhan dari “seekor semut sekalipun”. - -
“Dengan sengaja merusak atau
menghancurkan sebuah tanaman hidup adalah [Pelanggaran Pengakuan]”
Maka menghancurkan sebuah tumbuhan hidup – sebagai contoh, memotong jatuh pohon, mengambil bunga hingga akar, membakar rumput – adalah sebuah Pelanggaran Pengakuan; hal yang sama berlaku jika mengambil buah dari pohon, bunga dari semak, etc. Ini adalah pelanggaran bersalah (dukka.ta) jika merusak atau menghancurkan biji-biji subur atau bibit yang dapat tumbuh.
Namun bukan berarti biksu tidak boleh memakan buah. Ada metode khusus, yaitu kappiya, yang membolehkan biksu untuk memakannya. Dalam Islam, metode kappiya ini mirip dengan meminta seseorang untuk “menghalalkan” sesuatu. Metode kappiya ini biasanya dilakukan dengan memberikan tanda pada buah pemberian diantaranya adalah dengan menyentuhnya dengan api, membuat gambar dengan pisau diatasnya atau dengan memberi tanda melalui kuku jari.
Buddha membolehkan
biksu untuk makan daging dan ikan, kecuali dalam keadaan berikut:
- -
Jika seorang biksu melihat, mendengar
atau menduga bahwa ia (hewan tsb) telah dibunuh untuknya, dia tidak boleh
memakannya.
Jika seorang biksu diberikan daging dalam putaran sedekah dan dia tidak tahu mengenai bagaimana hewan tersebut mati, ia harus “menerima itu dengan perhatian”. Disini dia harus bersyukur dan mengingat bahwa makanan yang diberikan kepadanya adalah hal yang bisa membuatnya meneruskan kehidupan biksu dan bahwa ia tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Sementara mengenai
harta dan uang, sebagian peraturannya adalah sebagai berikut:
- -
“Biksu, dalam meninggalkan penggunaan
uang, meninggalkan keinginan duniawi mereka dengan nyata dan menunjukkan pada
yang lainnya dengan mencontohkan bahwa perjuangan/perebutan untuk harta itu
bukanlah jalan yang benar untuk menemukan kebahagiaan.”
- -
“Seorang biksu, yang menerima emas atau
uang atau meminta orang lain untuk menerimanya untuk dia, atau menerimanya yang
ditempatkan di dekatnya, melakukan [sebuah pelanggaran yang membutuhkan
pengakuan dan pengembalian.]”
- -
“Mendapatkan emas atau uang melalui
jual-beli adalah [sebuah pelanggaran yang membutuhkan pengakuan dan
pengembalian.]”
Dari peraturan diatas,
jelas bahwa kehidupan para biksu untuk melarang membunuh hewan (bahkan hewan
ternak untuk dimakan sekalipun), menghancurkan tanaman (bahkan mengambil buah
dari pohonnya) dan menyimpan uang, emas atau perhiasan (bahkan hingga
berdagang) adalah sebuah pelanggaran. Walaupun semua peraturan diatas terlihat
begitu baik, namun Al-Qur’an disini tetap mengokohkan bahwa orang-orang beriman
diperbolehkan untuk menyimpan perhiasan (baju, uang, berlian, dsb) dan
menggunakan persediaan yang ada di bumi (makan buah, hewan ternak, dsb). Karena
perhiasan dan persediaan yang ada di bumi, memang disediakan untuk manusia.
c. Ini adalah hal-hal
yang Allah larang, yaitu; kejahatan (ketidakasusilaan) yang terlihat dan yang
tersembunyi, dosa, penindasan tanpa kebenaran (hak), menghubungkan (menyamakan)
dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan
tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui.
Catatan:
Disini saya tidak akan membahas mengenai larangan lainnya kecuali dua larangan terakhir yaitu; menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui. Karena dua larangan ini saling berhubungan dan paling banyak mempengaruhi generasi sesudah kita.
Disini saya tidak akan membahas mengenai larangan lainnya kecuali dua larangan terakhir yaitu; menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui. Karena dua larangan ini saling berhubungan dan paling banyak mempengaruhi generasi sesudah kita.
Hal ini masih
berhubungan dengan ayat-ayat pada bagian ini dan bagian sebelumnya. Pada bagian
1, contoh yang diberikan adalah saat manusia berbuat kejahatan, namun mereka
mengatakan bahwa perbuatan mereka itu adalah yang telah dilakukan oleh leluhur
mereka dan bahwa itulah perintah Allah. Sebagai contoh nyata yang ada di dunia
mengenai hal ini adalah penghalalan nikah Mut’ah yang kebanyakan dianut
pengikut aliran Syiah.
Nikah mut’ah adalah
pernikahan kontrak dalam jangka waktu tertentu; bisa satu jam, seminggu,
sebulan, setahun, dsb. Pengikut aliran ini menjadikan Surah An-Nisa ayat 24 sebagai
dasar yang mereka artikan “.... Maka
istri-istri yang telah kamu campuri diantara mereka, berikanlah kepada mereka
biaya kontrak, sebagai suatu kewajiban. ....” Kata Ujrah yang umumnya diartikan sebagai mahar oleh pengikut aliran
Syiah ini diartikan sebagai biaya kontrak. Pada dasarnya, praktik nikah mut’ah
ini tidak bisa dibenarkan karena hal ini bisa dijadikan upaya untuk melegalisir
praktik prostisusi (upaya pemuasan nafsu belaka) di masyarakat. Contoh ini
masuk ke dalam dua larangan terakhir; menghubungkan (menyamakan) dengan Allah
hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan tentang Allah
hal-hal yang tidak kamu ketahui. Hal ini karena mereka menafsirkan Al-Qur’an
untuk mencari pembenaran (pentakwilan) terhadap keinginan mereka, padahal
mereka belum tentu mengetahui maksud dari ayat tersebut. Inilah hal yang
berbahaya mengenai ulama su’.
Namun dalam kesempatan
lain, kejahatan tidak harus dilakukan atas perintah Allah namun hanya perbuatan
bapak-bapak (leluhur) mereka. Contoh nyata dari hal ini adalah pelegalan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) di
banyak negara atas nama hak asasi manusia. Padahal jika mengacu pada hukum
agama, hal ini termasuk kejahatan yang besar karena fitrah laki-laki sebenarnya
adalah para perempuan. Kejahatan inipun kisahnya diabadikan dalam kisah Kaum
Luth dalam Al-Qur’an. Contoh ini mungkin tidak ada hubungannya dengan Allah
tapi manusia telah melakukan hal yang tidak Dia turunkan dengan kekuasaan
(Allah tidak menghalalkan LGBT, bahkan mengecam tindakan tersebut). Namun
jikalau ada yang menghalalkan LGBT dengan mengatasnamakan Allah, maka dia sudah
termasuk dalam melanggar kedua larangan diatas.
Pada bagian 2 adalah
contoh mengenai hal-hal yang sebenarnya diperbolehkan untuk dilakukan atau
dimiliki oleh orang-orang beriman, namun malah ada yang melarang (perhiasan dan
persediaan di bumi). Contoh bagian a diatas
adalah mengenai larangan makan dan minum di masjid, sedangkan pada bagian b adalah mengenai larangan penggunaan
perhiasan bagi orang yang beriman, padahal Allah membolehkan keduanya. Kedua contoh
ini sebenarnya masuk ke dalam dua larangan terakhir; menghubungkan (menyamakan)
dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan mengatakan
tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui.
Contoh b adalah mengenai larangan kepemilikan
perhiasan (harta, pakaian bagus, dsb). Jika yang melarang mengatasnamakan
Allah, maka ia akan termasuk ke dalam dua larangan terakhir; menghubungkan
(menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan kekuasaan dan
mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui. Sedangkan jika
mencontoh perilaku biksu Theravadin, walaupun ia tidak ada hubungannya dengan
Allah tapi manusia telah melakukan hal yang tidak Dia turunkan dengan kekuasaan
(Allah tidak melarang penggunaan perhiasan, harta, pakaian bagus, dsb).
Namun contoh ayat ini
tidak terbatas pada kedua contoh diatas. Terdapat banyak penafsiran lain; dan
contoh yang paling baik adalah mengatakan bahwa Isa adalah Tuhan, Isa adalah
anak Tuhan, atau adanya tuhan-tuhan lain selain Allah. Semua hal ini termasuk
dalam “menghubungkan (menyamakan) dengan Allah hal yang Dia tidak turunkan dengan
kekuasaan dan mengatakan tentang Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui”. Terakhir,
maksud dari “tidak diturunkan dengan
kekuasaan”, artinya adalah hal tersebut tidak dikatakan oleh pemberi peringatan
yang Allah turunkan. Maka dari itu, hal-hal yang tidak diturunkan dengan
kekuasaan berarti adalah kebohongan yang telah dibuat-buat oleh manusia.
d. Setiap negeri
memiliki waktunya masing-masing. Ketika waktu kehancuran mereka datang, maka
hal itu tidak dapat ditunda maupun dipercepat sedikitpun oleh manusia.