“Kemanusiaan dalam Kitab-Kitab Weda”
Oleh:
Maulana Malik Fikri
Catatan sejarah tanah
Jawa dapat ditelusuri melalui prasasti-prasasti yang tertinggal dalam berbagai
batu, ditulis dalam bahasa sansekerta yang pernah meluas hingga peradaban
India. Menurut buku Sejarah Raja-Raja Jawa karya Krisna Bayu Adji dan Sri
Wintala Achmad, catatan yang paling tua memuat sejarah mengenai Kerajaan
Mataram Kuno peninggalan raja Sanna pada Sanjaya.
Saat itu, wilayah
Kerajaan Mataram Kuno dikenal sebagai Medang I Bhumi Mataram, dimana lokasinya
masih dalam perdebatan (meskipun ada dugaan bahwa ibukotanya adalah wilayah
Yogyakarta saat ini). Berdasarkan pada nama raja-raja, terdapat dua aliran
besar yang memimpin Kerajaan Mataram Kuno, yaitu dinasti Syailendra (Aceh) dan
dinasti Sanjaya (Jawa). Namun, dalam prasasti lain disebutkan bahwa Kerajaan
Sriwijaya telah terbentuk, dan bersaing dengan Kerajaan Mataram Kuno sejak
lama. Alasan mengenai mengapa kedua pihak bertarung belum diketahui, namun
kemungkinan besar adalah dendam pribadi antar raja.
Mungkin cara menentukan
wilayah geografis dari setiap kerajaan adalah hal yang paling sulit untuk
dilakukan. Karena perubahan jaman serta akibat dari penjajahan banyak dari
penyair jawa yang telah melupakan sejarah. Namun, masih terdapat sedikit
cuplikan mengenai sistem pemerintahan, tata negara kerajaan, serta
peristiwa-peristiwa besar yang tercatat. Seperti sekarang, pada jaman dahulu
kepentingan kerajaan meliputi sektor politik, ekonomi, agama, kebudayaan dan
militer.
Apa yang menjadi
menarik dalam Kerajaan Mataram Kuno adalah pembangunan Candi Jinalaya
(Borobudur). Terdapat hal besar dan penting sehingga candi tersebut harus
dijaga. Pada masa itu, Rakai Garung telah menghadiahkan beberapa desa sebagai
sima swatantra (daerah bebas pajak) untuk ikut merawat Candi Jinalaya. Hingga
saat ini, Candi Borobudur memang masih berdiri dan disebut sebagai salah satu
dari tujuh keajaiban dunia. Pasti ada jawaban mengenai rahasia dari Candi
Borobudur itu sendiri, dan rahasia tersebut ada dalam sejarah, agama serta
gambar hieroglyph yang terdapat di
sekitar bangunan tersebut. Karena berbagai alasan, Tuhan telah menyelamatkan
bangunan ini, yang pada dasarnya sangat rentan pada gempa maupun serangan
musuh.
Selain itu, terdapat
beberapa istilah dalam gelar raja-raja Jawa. Misalnya, gelar Maharaja adalah
sebuah gelar yang diberikan pada seorang raja bawahan yang kemudian menjadi
merdeka sebagai pemberian (bukan atas azas memerdekan diri atau memberontak).
Dalam kisah Mahabharata, hal ini telah dilakukan Yudhistira untuk menghindari
peperangan antar saudara dengan Duryudana, membelah Kerajaan Kuru menjadi dua. Sedangkan gelar haji adalah sebuah gelar bagi
raja bawahan. Dengan kata lain, sistem pemerintahan pada jaman Kerajaan Mataram
Kuno ini seperti sebuah serikat, setiap raja memiliki wilayahnya masing-masing,
namun masih harus patuh dan memberikan upeti kepada “raja besar”. Pemberian
upeti (pajak) ini adalah sebagai bentuk terima kasih atas perlindungan serta
kebaikan lainnya yang diberikan Raja pada haji.
Silsilah menurut buku
Sejarah Raja-Raja Jawa juga cukup menarik. Berikut adalah silsilah yang
disisipkan dalam buku tersebut:
Nabi Adam > Nabi Sis
> Hyang Nur Cahya > Hyang Nur Rasa > Hyang Wening (Hyang Wenang) >
Hyang Tunggal > Sang Hyang Guru > Sang Hyang Brama > Bramani >
Tritrustha > Parikenan > Manumamasa > Satrukem > Sakri >
Palasara > Abiyasa > Pandu Dewanata > Arjuna > Abimanyu >
Parikesit > Yudayana > Gendrayana > Jayabaya > Jayamijaya >
Jayamisena > Kusumawicitra > Citrasoma > Poncadriya > Anglingdriya
> Suwelacala > Sri Mapunggung > Kandhilawan > Resi Ghatayu >
Lembu Amiluhur > Raden Panji > Dalalean > Mundhingwangi > Sang Ra
Pamekas > Jaka Susuruh > Prabu Anom > Adaningkung > Hayam Wuruk
> Lembu Amisani > Bratanjung > Raden Alit > Brawijaya > Bondhan
Kejawan (Lembu Peteng) > Getas Pandhawa > Ki Ageng Sela > Ki Ageng
Enis > Pemanahan (Ki Ageng Mataram) > Raden Bagus (Danang Sutawijaya)
> Adipati Anom Mataram > Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) > Raden Mas
Rasyidin (Sunan Amangkurat I).
Terdapat beberapa deret
nama yang disinggung dalam silsilah ini, dimana kisah mereka telah disisipkan
dalam berbagai kitab maupun prasasti. Kisah anak-anak Pandu misalnya, yang
diabadikan dalam Mahabharata ternyata tercantum dalam salah satu silsilah nama
raja-raja Jawa. Dengan kata lain, kemungkinan pada masa itu wilayah Kerajaan
Kuru meliputi seluruh wilayah negara ASEAN serta India (sebelum adanya banjir
besar yang membelah seluruh negara serta kepulauan Indonesia).
Hal ini karena pada
dasarnya seluruh wilayah Asia Tenggara memiliki kesamaan, seperti budaya,
bahasa, kepercayaan, serta tata krama. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa
kesamaan ini akan berubah karena berbagai faktor, antara lain adalah akibat
penjajahan dan “isolasi”. Penjajahan jelas akan merubah cara hidup serta pola
pikir bangsa yang dijajah. Sedangkan prinsip isolasi sangat mirip dengan
prinsip evolusi pada pelajaran biologi. Jika sebuah spesies yang memiliki genus
sama tinggal pada habitat yang berbeda, maka akan terjadi proses isolasi.
Yaitu, mereka akan beradaptasi dengan habitatnya masing-masing, sehingga akan
tercipta spesies baru dengan genus yang sama. Hal tersebut juga berlaku pada
manusia. Yang terutama berubah setelah peristiwa “banjir besar” adalah
peradaban manusia tersebut, meliputi kebudayaan, bahasa serta cara hidup.
Saya yakin banyak dari
rakyat Indonesia belum mengenal tentang keberadaan Nabi Sis. Dikatakan bahwa ia
adalah Nabi yang diutus ke Jawa, hingga kini makamnya pun masih ada. Informasi
mengenai Nabi Sis memang sangat terbatas, namun makamnya masih terdapat di
tanah Jawa. Saat itu berita mengenai hal ini pernah masuk media televisi,
tepatnya lewat acara “Dua Dunia”, berada di daerah sekitar pegunungan. Sangat
mungkin bahwa Nabi ini adalah orang pertama yang mengajarkan pada umat hal-hal
mengenai ajaran agama (kitab Weda) serta ilmu Kejawen.
Mengenai apakah Nabi
Sis adalah salah satu anak dari Nabi Adam, saya rasa hal itu tidak ada yang
mengetahui. Yang jelas, bahwa Nabi Sis adalah salah satu keturunan dari Nabi
Adam. Mengenai catatan tentang Nabi Sis pun masih sangat terbatas. Mungkin akan
saya tulis dalam artikel lain.
Saya rasa kita dapat
sepakat bahwa bahasa Sansekerta adalah bahasa tertua di wilayah tanah Jawa, dan
mungkin di seluruh wilayah negara Asia Tenggara. Hal ini jelas tertulis dalam
Kitab Mahabharata, Bhagavad Gita serta kitab-kitab lainnya yang pada dasarnya
ditulis dalam bahasa Sansekerta. Saya rasa hingga pada masa Parikesit (cucu
Arjuna) bahasa Sansekerta masih merupakan bahasa ibu yang unggul karena kitab
Mahabharata dengan jelas menggambarkan keunggulannya sebagai bahasa ibu. Namun,
terdapat perubahan pada masa raja Jayabaya, dimana ia menuliskan seluruh
ilmunya dalam bahasa Jawa Kuno. Disini, saya rasa terjadi proses isolasi, yang
mungkin terjadi akibat banjir besar pada masa pemerintahan Yudayana atau
Gendrayana sehingga menciptakan sebuah aliran bahasa baru.
Masih belum diketahui
secara pasti seberapa besar efek banjir tersebut, hingga menyebabkan perubahan
bahasa. Seberapa besar wilayah kerajaan, apakah itu adalah saat dimana
Sundaland berpisah dengan India, semua pertanyaan ini belum bisa dijawab.
Namun, jelas terdapat alasan mengenai perubahan linguistik dalam suatu
peradaban.
Alasan utama tentunya
adalah karena ada masa “penurunan kualitas”, misalnya akibat perang maupun
pemberontakan sehingga dalam beberapa hal menghambat kemajuan seni-budaya,
bahasa serta teknologi. Dalam penggunaan bahasa, terutama Sansekerta serta Jawa
Kuno, terdapat kastanya masing-masing. Ini disebut sebagai tata krama, ketika
berhadapan dengan raja maka akan mengucapkan bahasa dengan santun, ketika
menghaturkan hormat kepada orang yang lebih tua ataupun yang lebih berilmu maka
menggunakan bahasa yang sopan, ketika berhadapan dengan teman sebaya akan
berbicara dengan bahasa biasa maupun bahasa gaul. Namun, lain halnya ketika
sang raja telah mangkat, atau tiada pengganti. Rantai bahasa di puncak akan
terpotong. Kemudian, yang terjadi adalah putusnya strata tata krama bahasa,
sehingga bahasa yang lebih populer (dalam hal ini bahasa Jawa biasa) menjadi
bahasa ibu.
Secara simpel, bahasa
tersebut dapat diklasifikasikan sebagai:
- Bahasa Raja-Raja (Puncak Bahasa)
- Bahasa Pada Golongan yang Lebih Tua atau Terhormat
- Bahasa Pada Sesama atau Pada yang Lebih Muda
- Bahasa Raja-Raja (Puncak Bahasa)
- Bahasa Pada Golongan yang Lebih Tua atau Terhormat
- Bahasa Pada Sesama atau Pada yang Lebih Muda
Pada akhirnya, bahasa
raja-raja akan terlupakan karena keberadaan sang raja sendiri menghilang,
sehingga bahasa tersebut menjadi tidak populer dan kian menghilang dari
peradaban. Namun, kebutuhan komunikasi tidak akan pernah hilang dari peradaban
manusia. Karena itu, bahasa hanya akan berganti, namun tidak dapat dimusnahkan.
Dari silsilah serta
informasi mengenai Kerajaan Kuru, dapat dilihat adanya dua peradaban yang jelas
berbeda dari peradaban Jayabaya. Bisa dibilang bahwa jaman mereka telah
terpisah. Dari sini, dimulailah era Kerajaan Baru yang menguasai tanah
Sundaland.
Dalam silsilah
raja-raja Jawa yang saya selipkan diatas, tidak tercantum nama raja Sanna
maupun raja Sanjaya. Saya rasa silsilah yang terdapat diatas hanya mencantumkan
nama raja yang telah membuat masa “keemasan” kerajaan. Nama-nama mereka
dikenang karena berbagai hal, misalnya karena kekuatan, kemakmuran, kemenangan
atas musuh, serta hal lainnya. Dalam hal ini, pada masa pemerintahan raja Sanna
dan Sanjaya, Kerajaan Mataram Kuno masih menerima berbagai serangan dari dalam
maupun luar kerajaan, dan prestasi mereka sebagai raja belum sebanding dengan
raja-raja sebelumnya.
Bahasa Jawa Kuno tetap
menjadi bahasa ibu, sebelum adanya banjir besar yang kemudian memisahkan antara
negara-negara ASEAN, juga antar kepulauan Indonesia (yang sangat mungkin
beberapa diantaranya tenggelam dalam lautan). Disini, terdapat lebih banyak
isolasi, sehingga menciptakan beragam penduduk yang memiliki kemiripan dari
segi bahasa, seni budaya, teknologi dan kepercayaan, namun juga memiliki
perbedaan yang mencolok. Misalnya, aksara bahasa Vietnam dan Thailand memiliki
kemiripan dengan aksara Jawa, namun ketiga bahasa tersebut berbeda. Karena saat
isolasi, masyarakat mengambil adaptasi (misalnya dari dialek, tata bahasa, dsb)
yang berbeda sehingga bahasa yang sebenarnya berasal dari induk yang sama
menjadi berbeda.
Dalam perjalanan
sejarah kerajaan, sudah menjadi adat
kerajaan serta aturan kitab-kitab Weda bahwa anak sulung dari seorang raja adalah
yang berhak atas tahta kerajaan. Namun, jika anak sulung tersebut wafat tanpa
meninggalkan keturunan, maka adiknyalah yang akan dinobatkan menjadi raja. Jika
sang raja tidak memiliki anak, atau sang anak telah mangkat dalam usia muda
tanpa meninggalkan keturunan, maka permaisuri (istri raja) tertualah yang akan
mengambil tahta kerajaan. Namun, tampuk kekuasaan dapat didelegasikan kepada
sanak keluarga lain, seumpama keluarga kerajaan tidak ingin menjadi raja.
Dalam kitab-kitab
sastra yang dianut masyarakat tersebut, tata krama serta peraturan agama
berjalan selaras dengan perundangan kerajaan. Karena itu, adanya suatu kasta
dalam masyarakat adalah sesuatu yang wajar, karena kasta tersebut bersifat
universal. Kasta yang dimaksud adalah mengenai golongan masyarakat yang terbagi
atas Sudra, Waisha, Ksatria dan Brahma. Namun, dalam pendidikan sejarah dunia modern,
tidak disebutkan mengenai kasta lain, seperti Resi dan Dewa.
Berikut adalah makna
kasta yang pasti anda jumpai bahkan dalam kehidupan modern saat ini:
- Sudra: Orang yang tidak dibutuhkan dalam suatu golongan masyarakat, dalam jaman tersebut biasanya berupa budak maupun kuli bangunan, namun tidak terbatas pada dua opsi tersebut. Dalam jaman ini dapat dibilang sebagai pengamen ataupun “sampah masyarakat”.
- Waisha: Rakyat yang memiliki keahlian dan bermanfaat bagi negara, misalnya
adalah petani, pedagang, dsb. Di jaman ini dapat meluas dari office boy hingga
pegawai kantoran, bahkan PNS.
- Ksatria: Golongan yang biasanya mumpuni dalam ketatanegaraan. Tugasnya adalah mengantar kerajaan pada masa keemasan dan membawa rakyat pada kemakmuran sebagai wakil Tuhan di bumi (raja). Kesalahan pada pendidikan modern dengan menyatakan bahwa golongan ini hanya terdiri dari prajurit militer. Olah senjata memang salah satu kebutuhan dalam golongan ini, namun tidak melupakan akan aspek lain seperti ketatanegaraan dan pelajaran mengenai kitab sastra (kitab Weda). Bahkan dalam Mahabharata karya C. Rajagopalachari, tertulis bahwa golongan raja serta pangeran kerajaan masih merupakan golongan ksatria.
-Brahma: Brahma atau Brahmana adalah orang-orang yang berpendidikan, bijaksana, serta menguasai seluruh isi dari kitab-kitab Weda. Biasanya bertugas sebagai pemberi nasihat, atau sebagai perdana menteri kerajaan.
- Resi: Seorang yang mengasingkan diri di hutan untuk bertapa (mensucikan diri). Dapat dilakukan untuk meminta berkah (kekuatan, dsb), namun lebih umum digunakan untuk mensucikan diri dari dosa yang telah diperbuat. Ketika uzur, biasanya golongan ksatria serta orang-orang yang menguasai kitab Weda memilih jalan ini untuk mensucikan diri.
- Ksatria: Golongan yang biasanya mumpuni dalam ketatanegaraan. Tugasnya adalah mengantar kerajaan pada masa keemasan dan membawa rakyat pada kemakmuran sebagai wakil Tuhan di bumi (raja). Kesalahan pada pendidikan modern dengan menyatakan bahwa golongan ini hanya terdiri dari prajurit militer. Olah senjata memang salah satu kebutuhan dalam golongan ini, namun tidak melupakan akan aspek lain seperti ketatanegaraan dan pelajaran mengenai kitab sastra (kitab Weda). Bahkan dalam Mahabharata karya C. Rajagopalachari, tertulis bahwa golongan raja serta pangeran kerajaan masih merupakan golongan ksatria.
-Brahma: Brahma atau Brahmana adalah orang-orang yang berpendidikan, bijaksana, serta menguasai seluruh isi dari kitab-kitab Weda. Biasanya bertugas sebagai pemberi nasihat, atau sebagai perdana menteri kerajaan.
- Resi: Seorang yang mengasingkan diri di hutan untuk bertapa (mensucikan diri). Dapat dilakukan untuk meminta berkah (kekuatan, dsb), namun lebih umum digunakan untuk mensucikan diri dari dosa yang telah diperbuat. Ketika uzur, biasanya golongan ksatria serta orang-orang yang menguasai kitab Weda memilih jalan ini untuk mensucikan diri.
Semenjak dahulu, kitab
Weda telah menjadi sebuah pedoman bagi masyarakat dari berbagai dunia. Mungkin,
berbagai aliran agama seperti Confucious dan Taoisme juga merupakan “anak” dari
ajaran kitab Weda sendiri yang tersebar di tanah Cina. Persebaran agama ini,
saya rasa, meluas hingga tanah Yunani. Meski belum pasti mengenai peradaban
lainnya (Babilonia, Mesir Kuno, serta peradaban Mesopotamia) namun mungkin
pelajaran mengenai kitab-kitab Weda telah dikenal di seluruh dunia, yang dapat
dilihat dari legenda dan karya sastra berbagai bangsa. Seperti proses isolasi
pada umumnya, persebaran tersebut akan berubah melalui adaptasi masyarakat.
Tetapi, terdapat benang merah yang dapat menghubungkan mereka semua, dengan
menganalisis legenda mengenai Dewa, Manusia, dan Raksasa.
Apa yang mungkin
menjadi rahasia hingga saat ini, adalah pelajaran mengenai kitab-kitab Weda
yang ada. Saat ini, tidak banyak orang yang bisa membaca bahasa Sansekerta, sehingga
tidak sedikit yang menafsir arti dari penjelasan dalam kitab tersebut. Namun,
bukti bahwa kitab-kitab Weda adalah salah satu kitab suci yang diturunkan Tuhan
di bumi ini tidak terbantahkan.
Mengenai efek banjir
yang terjadi dalam berbagai wilayah Asia Tenggara, saya rasa bisa dilakukan
penelitian secara geologis. Masih terdapat beberapa kemungkinan, diantaranya
adalah:
A.
Banjir yang dimaksud dalam kitab-kitab
suci adalah, banjir yang terjadi akibat “penghangatan bumi”, karena terdapat
berbagai bukti geologis bahwa wilayah Asia Tenggara (terutama Indonesia) pernah
tertimpa jaman es sebanyak tiga kali. Pendinginan menyebabkan muka air laut
turun, sehingga banyak tanah dapat terhubung. Namun, saat bumi mulai memanas
(misalnya karena efek gunung api meletus) maka es akan mencair dan terjadi
banjir.
B.
Banjir terjadi akibat penenggelaman
tanah. Karena berbagai pergerakan tektonik di bumi, serta pergeseran lempeng
maupun efek alam seperti letusan gunung atau gempa, terjadi kenaikan ataupun
penurunan tanah. Jika tanah naik, biasanya akan menciptakan longsor yang
menurunkan permukaan tanah di sekitarnya (meski kadang hal ini tidak selalu
terjadi, perembesan tanah juga dapat terjadi karena faktor lain, misalnya
akibat peradaban manusia). Hal ini menyebabkan permukaan air berada di atas
darat (tenggelam). Contoh akan hal ini adalah kota Jakarta dan negara Jerman.
C.
Karena berbagai faktor, kedua pilihan
diatas dapat terjadi di berbagai tempat di daerah Asia Tenggara (Sundaland),
dapat terjadi bersamaan maupun tidak bersamaan.
Cara penulisan prasasti
dalam batu juga merupakan kemajuan peradaban yang sebenarnya harus kita
banggakan. Karena lewat prasasti-prasasti itulah, suatu kejadian menjadi fakta.
Seperti surat untuk masa depan, seakan mereka ingin mengatakan bahwa mereka
pernah hidup di bumi. Seharusnya, budaya ini kita lanjutkan pada generasi
berikutnya, namun mungkin akan saya tulis dalam artikel lain.
Begitulah analisis
sejarah tanah jawa pada masa kerajaan lampau, dimana pada saat itu ajaran kitab
Weda benar-benar mendunia. Bisa dibilang, bahwa sebuah kepercayaan benar-benar
mempengaruhi gaya hidup suatu peradaban. Namun, perlu disimak juga akan adanya
berbagai aliran mengenai kitab Weda. Contohnya adalah aliran Buddha dan Hindu,
kemudian aliran Buddha Siwa serta aliran lainnya. Hal ini merupakan sebuah
bukti dimana agama yang satu dapat berubah menjadi aliran-aliran kecil lain,
berdasarkan pemahaman serta penalaran seseorang.
Dari sini, saya harap
kita bisa mendapatkan berbagai pengetahuan lebih, karena sejarah biasanya
adalah sesuatu yang terlupakan, namun sebenarnya siklus yang terus menerus
berulang. Terdapat berbagai rahasia yang tersimpan dalam sejarah, namun apapun
yang tersisa dalam jaman ini, pasti memiliki makna agar kita semua mempelajari
hal itu.